Menyiram Dosa Tetangga

By: Ach. Jalaludin | 12 Juni 2023 | 949
ilustrasi oleh @achjalaludin
ilustrasi oleh @achjalaludin

“Kalâmun qodîmu lâ yumallu samâ’uhu

Tanazzaha ‘an qoulin wa fi’lin wa niyyati

Bihi asytafî min kulli dâ-in wa nûruhu

Dalîlun liqolbî ‘inda jahlî wa hairotî …”

Terdengar lantunan syair dari masjid yang dibacakan oleh seluruh santri, pertanda kajian kitab yang dipimpin langsung oleh Gus Badrun baru saja selesai. Syair tersebut memang biasa dibaca bersama setelah kajian kitab kuning, kompak dan merdu dengan irama yang sederhana. 

Ada yang mengatakan syair itu ditulis oleh Ibnu Iroq al- Kinàni, yang lahir pada tahun 907 H. Ibnu Iraq al-Kinani adalah orang yang alim di bidang fiqih, tasawuf, hadits, juga di bidang sastra, sebab itulah beliau sangat produktif dalam menulis kitab dan syair-syair. Salah satu karya besarnya adalah senandung syair yang dibacakan santri barusan. Begitulah yang dijelaskan Gus Badrun dalam satu kesempatan. Kalau kita baca artinya sungguh sangat indah. 

Selesainya santri membaca syair, Gus Badrun beranjak dari duduknya, 

“Eh kamu sini,” Gus Badrun memanggil santri yang duduknya tak jauh dari beliau. Santri yang dipanggilnya langsung berdiri sambil menunduk, kemudian perlahan menghampiri beliau. 

“Ka’ dintoh,” jawab santri itu dengan sopan.

“Kamu panggilkan Kang Didin ya, suruh ke sini sebelum kebanjiran.” 

“Engki..”

***

Kang Didin langsung kebingungan setelah mendengar pemberitahuan dari Santri yang mengatakan bahwa dirinya dipanggil oleh Gus Badrun. Kalau hanya dipanggil, Kang Didin sering dipanggil Gus Badrun, bahkan Kang Didin berharap sering bertemu sembari mendengar penjelasan-penjelasan hikmah dari beliau. 

Kang Didin bingung karena santri yang disuruh memanggilnya mengatakan:

“Kang Didin sekarang dipanggil Gus Badrun, sebelum kebanjiran, kata beliau.” 

“Kebanjiran gimana?” Kang Didin balik bertanya kebingungan.

“Gak tau juga Kang, kata beliau mamang begitu.” 

“Kebanjiran apa ya,” Kang Didin berkata sambil kebingungan. 

Sekarang sudah masuk musim kemarau, berbulan-bulan hujan tidak turun. Entah apa yang dimaksud kebanjiran olah Gus Badrun. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan yang sering dibicarakan warga tentang orang gila yang sering lewat di depan masjid. Hampir seminggu orang gila itu selalu bermain air di depan masjid warga, mengambil air dari kamar mandi kemudian membasahi tangga dan halaman masjid. Warga yang melihat itu kebingungan dan merasa risih, tapi warga takut yang mau melarang langsung. 

Kang Didin tidak mau tenggelam dengan kebingungannya, dia langsung menemui Gus Badrun di pesantren. 

“Nah ini, Din. Kau bawa ini kasih ke Bu Firman, sepertinya anaknya sedang sakit.” Seolah menunggu Kang Didin, Gus Badrun langsung menyambutnya.  

Gus Badrun memberikan plastik dengan ukuran sedang yang berisi penuh, tidak tau pasti apa isi di dalamnya. Kabar anak Bu Firman yang sakit memang sudah agak lama, orang-orang juga sudah jarang melihat Bu Firman ke sawah. Ia seorang yang janda, menghidupi dan menyekolahkan anaknya dari hasil sawah, syukur-syukur kalau dapat BLT dari aparat desa.

“Ini apa, Gus?” 

“Ya kamu kasih saja ke Bu Firman, semoga anaknya bisa sembuh dan bisa ngaji lagi.”

“Engki, Gus,” Kang Didin menerima bungkusan tersebut. “Tapi, Gus, santri tadi bilang banjir, Gus, memangnya ada apa?” Kang Didin langsung mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan kebingungannya. 

“Kamu sering shalat berjamaah di masjid warga, Din?”

“Iya Gus,”

“Kamu tau kan ada orang gila yang setiap malam main air di situ, yang menyirami tangga dan halaman?”  

“Iya Gus, memangnya tau dari mana, Gus?” Setahu Kang Didin tidak ada yang mengabarkan kejadian itu ke Gus Badrun. 

“Nah itu, orang gila itu sebenarnya ingin menyiram dosa-dosa kita sebagai tetangga Bu Firman. Kita semua yang diberikan kesehatan dan kecukupan berlomba-lomba untuk mendapatkan pahala di masjid, tapi kita lupa akan tetangga kita sendiri yang sedang kesusahan, terkena musibah.” 

Gus Badrun menjelaskan dengan suara pelan seolah sedang dalam kesedihan. Sekarang Kang Didin mengerti maksud orang gila itu yang sebenarnya ingin mengingatakan pada warga bahwa ada tetangganya yang sedang butuh pertolongan. Entah sebenarnya siapa yang gila?

“Iya, Din, entah sebenarnya siapa yang gila?” 

Kang Didin langsung terkejut mendengar ucapan Gus Badrun yang sama seperti yang dipikirkannya. Tapi Kang Didin tidak bisa berkata-kata melihat wajah Gus Barun yang tampak sedih. 

“Kau cepat antarkan saja sebelum tuhan yang mengingatkan kita. Kalau sampai itu terjadi akan berbeda dengan orang gila yang hanya membasahi halaman masjid.” 

Mendengar itu Kang Didin langsung pamit untuk segera memberikan bingkisan dari Gus Badrun untuk Bu Firman. Dan benar saja, setelah bingkisan itu sampai kepada Bu Firman, orang gila yang sering membasahi halaman masjid sudah tidak terlihat lagi.