Kedai Kesedihan

By: Naufal El Fany | 14 Agustus 2021 | 519
@elfanynaufal
@elfanynaufal

Di tempat ini. Meja membisu, gelas-gelas kehilangan aksara, kopi perlahan ditinggalkan kepulan asapnya. Hanya waktu yang terus berdetak seirama dengan denyut nadi dan alunan musik Inuysaha. Kedai kopi yang terasa sedu, seperti langit di malam ini yang juga terlihat hampa.

Kedai ini menampung ribuan orang yang datang untuk menumpahkan kesedihan. Aku termasuk salah satu dari orang-orang yang termenung, memandang kosong jalanan yang ramai oleh para pejalan kaki dan kendaraan. Tapi keramaian itu hanya sebatas riuh yang tak mampu menghilangkan gemuruh luka dalam dada para pengunjung kedai ini.

Di sudut ruangan, terlihat seorang wanita duduk dengan anggun sambil menyeduh jus satsuma imo. Anggun dan bersahaja. Beberapa kali, ia menampakkan senyum. Ah, gigi ginsul. Benar-benar menawan.

Rasa penasaran menuntunku menghampiri wanita itu. Di tempat yang sedu ini, mengapa dia malah tampak bahagia?

“Hei, wanita cantik, apa yang kau lakukan di tempat seperti ini?” tanpa ragu, aku duduk di depannya.

“Bukankah tempat ini bebas didatangi siapa saja?”

“Memang banar. Tapi aku rasa tempat ini bukan passion kamu banget,” sambil memlihat sekitar “lihatlah semua orang di sini. Bagaimana bisa hanya kamu yang terlihat bahagia?”

“Iya, aku paham. Ini adalah tempat orang-orang galau, depresi, frustasi, dan semacamnya.”

“Lantas?”

“Hanya sebatas mencari kebahagiaan.”

“Kebahagiaan di atas penderitaan orang lain maksudmu?”

“Hemz, kau tidak paham,” sambil beranjak dari duduknya, “bukankah kau tidak akan tahu apa itu bahagia tanpa tahu rasanya terluka?” lanjutnya, meninggalkan kedai ini

Banyuanyar, 1 Agustus 2021

*Naufal El Fany