Arfa

By: Mukmin Faishal | 31 Januari 2020 | 871
Sebuah cerpen oleh anak FLP
Sebuah cerpen oleh anak FLP

Sepotong kisah yang sempat kupetik dari diary on   Desember 14th 2019, Saturday night in Pasru Jambe Lumajang.

***

Hidup itu pilihan. Teramat banyak penulis dan motivator terkenal menyampaikan 3 kata itu dalam setiap dakwahnya, namun yang perlu kita ketahui, tak semua yang menjadi pilihan kita tertunaikan. Sebab 3 kata itu masih bersemayam dalam garis besar 3 kata juga yaitu ‘Hidup itu Relatif’.  Kadang kita harus bahagia dengan sejuknya hidup, terkadang pula kita harus menangis atas pahitnya waktu yang tengah kita sapa, disitulah letak pilihan kita yang tak tertunaikan hingga muncullah kata sabar dan ikhlas.

Kita harus sabar melanjutkan kehidupan kita, mengikhlaskan atas kepergian pilihan kita yang tak sempat tertunaikan. Itulah sunnatullah yang semestinya dinikmati oleh mereka yang masih bernafas di luas hamparan bumi ini. Dan merupakan alasanku menuliskan perihal itu tersebabkan semuanya telah ada pada diri ini, tentang bagaimana aku harus mengikhlaskan kepergian dia yang mau hadir sebab aku tak bisa memenuhinya.

 

***

Pagi mulai menua, aku tengah mengikuti acara sidang di Lumajang tentang pemilihan ketua FLP wilayah Jawa Timur, hal itu akan digelar sehari penuh. Namun di menit ini aku sedang break sehabis pembukaan tadi. Aku dan teman-teman FLP lainnya yang berdomisili Madura ingin berpose, ingin sekedar mengabadikan moment-moment nyaman ini. Namun lagi butuh orang yang bisa mengambilnya, tapi beda dimenit berikutnya, tanpa sengaja aku tertatap pada seutas senyum manis disamping tempat berdiri. Segera kumintanya untuk ngambil foto lewat kamera yang kita bawa.

“Terima kasih Mbak…!”

“Iya.” Jawab wanita itu. Kali ini senyum kita benar-benar tertukar  dari sebelumya yang masih semu, aku sadar satu hal tentang wanita itu. Dia pemalu, dari cara dia bertingkah, berbicara, dan tersenyum. Aku memahaminya. Mungkin, dari detik ini akulah yang akan lebih mengingatnya.

Waktu break sudah usai, masuk pada sidang perdana, aku dan juga teman-teman lainnya kembali ke Aula sidang, duduk di kursi bersebelahan dengan ibu berkaca mata, dia pun membuka percakapan diantara kita. “Nak… Kamu dari mana?”

“Aku dari FLP Pamekasan”Jawabku.

“Siapa namamu, bisa dipanggil siapa?”

“Rasul, nama lengkapku Rasul Firdaus.”

“Rasul?, bisa ibu panggil Firdaus saja, dari namamu yang berarti Utusan Syurga Firdaus, boleh Ibu panggil Syurga Firdausnya?” Pintanya.

“Terserah Ibu saja, hehe…” Jawabku bersikap makin akrab dengannya.

Percakapan kita semakin panjang, dia seakan tertarik setelah aku mengaku, kalau aku santri dan berangkat dari pesantren. Dia banyak bercerita tentang pengalaman khususnya tentang dunia literasi. Ternyata, Ibu yang biasa dipanggil Ibu Atin itu sudah pernah menerbitkan novel, tulisannya banyak dimuat sebagai antologi cerpen, essai, dan lainnya. Dia juga aktif menulis di koran, bahkan sekarang aku dikasih antologi essainya dari empat judul antologi yang dia tawarkan. Sekilas aku Membacanya kemudian dia memberiku lagi kumpulan cerpen miliknya.

“Terima kasih Bu…” Balasku setelahnya dan kembali menyimak sidang.

Di beberapa menit kemudian, Ibu Atin kembali memanggilku dan dia tak lagi sendirian, dia kan wanita yang tadi! batinku. Benar! Dia sudah bersebelahan dengan Bu Atin, kulihatnya sangat dingin, sunyi di samping Bu Atin. Mungkin benar aku menebaknya, dia pemalu.

“Firdaus…” Panggilnya membuyarkan sedikit lamunanku.

“Iya Bu.”

“Di buku itu juga ada karya cerpen anakku, cerpen nak Arfa ini.” Bicaranya sambil menepuk bahu wanita yang ku ingat bagaimana dia tersenyum. jadi dia putri Bu Atin! Sepertinya aku akan beruntung kali ini. Batinku yang semakin yakin pada dia. Arfa, begitulah Bu Atin memanggilnya.

“Ini cerpen Arfa.” Tunjuk Bu Atin pada buku kumpulan cerpen itu.

“Oh iya Bu, nanti aku baca.” Jawabku dengan penuh rasa menghargai.

Aku paham betul apa maksud ibu Atin kali ini, dia sedang memperkenalkanku pada Arfa, anaknya yang tengah disampingnya. Kulihat Arfa menundukkan kepala dan tersenyum sinis. Aku sangat tahu siapa yang sedang mereka bicarakan, iya! Itu aku. So that, aku semakin percaya diri , terbang menjadikan dia pelangi. Aku tak perlu membeli pesawat pergi mewarnai langit, sebab Bu Atin telah sudi menebar hujan dan meredakannya kembali, melahirkan seribu pintu terbuka lebar untuk merebahkan diri pada hati Arfa, semakinlah aku mendekatinya mulai dari minta tanda tangan mereka di buku essai dan cerpennya, dan mencari perhatiannya sehingga dia memberiku suatu yang lebih. Setelah dia memberiku dua antologi cerpen dan essainya, dia kasih aku Pin FLP, dan Gantungan kunci FLP. Usainya dia kasih   separuh jeruk dari tangan Arfa.

“Buat Firdaus ya…” Pinta Ibunya pada Arfa, wanita itu hanya mengangguk bersamaan senyumnya yang sedikit tertangkap lirikanku. Aku merasa hari ini memang beruntung menikmati beberapa potongan buah favotitku dari Arfa, wanita pertama kali memberiku senyum termanisnya di kota Lumajang.

Sidang terus berlanjut, namun terpaksa panitia harus memberhentikan satu jam ke depan, sebab waktu maghrib telah tiba, dan akan dilanjutkan usai sholat isya’.

“Nanti, Firdaus kembali duduk disini ya!” Aku mengangguk atas pinta Bu Atin sebelum akhirnya aku berdiri dan meninggalkan aula sidang. Istirahat dan segera mandi untuk mengikuti sidang selanjutnya, namun sebelum itu semua peserta sidang dipersilahkan untuk makan malam bersama.

 

***

Malam semakin larut. Namun tak sedikit menyingkap tirai kesunyian, pekatnya langit hitam tetap terlihat indah dengan teburan bintang tersirami cahaya rembulan, terlihat semangat menerangi bumi malam, jadikan belahan bumi yang tengah kutapaki ikut riuh semangat menikmati banyak hal. Hembusan angin terus saja bersemilir keras ciptakan suasana yang memang dingin semakin meluas, namun dingin malam ini masih saja terkalahkan oleh lingkaran angota FLP se Jawa Timur di aula sidang. Itu aku rasakan setelah kembali masuk keruangan itu akan menyaksikan sidang terakhir entah siapa nanti yang akan terpilih menjadi ketua FLP wilayah JATIM.

“Mi…Ummi.... dia pakek sarung.” Tanpa sengaja aku mendengar suara itu bersumber dari Arfa, dan benar! Bu Atin dan Arfa langsung memusatkan pandangannya padaku sebelum akhirnya aku berjalan menuju kursi semula. Namun langkahku terhenti saat mendengar pangilan dari dia, aku melangkah menghampirinya dengan piring yang berisi makanan ringan untuk dinikmati sepanjang sidang, itu ada untuk semua peserta, dan…

”Ayo duduk disini!”  Deg! Sungguh hatiku langsung terbang entah ke langit berapa ia mengebalikan bintang yang baru saja jatuh dan  mengabari kebahagiaanku. Aku mimpi apa tadi malam? Batinku. Setelah akhirnya aku duduk diantara Bu Atin dan Arfa sedekat mungkin sampai pakaianku saling bertumpangan dengannya. Ah… aku benar-benar salting saat ini, entah apa yang harus aku bicarakan, sunyi tanpa sepotong kata keluar dariku kecuali hati yang tak hentinya meriang gembira. Really! It’s a great and sweet moment special for me, namun disela selanjutnya Bu Atin sukses memecahkan keheningan kita.

 “Arfa… ini, ngambil foto bareng Firdaus!” Perintahnya, Ya tuhan! Apa benar, secuil harapan yang mulai tumbuh di hati ini akan benar-benar kau tunaikan saat ini ? Aku diam seribu kata, hanya saja senyumku yang terus terulas manis disamping wajah sayu Arfa pas didepan kamera. So that! Melihat foto-foto itu layaknya aku telah menjadi bagian dari keluarga mereka, kembali aku merasa jadi orang paling bahagia di acara Musywil ini.

Perlahan aku menikmati lagi camilan di tanganku, dengan perlahan juga aku mendengar suara merdu bersumber dari Arfa.

“Kamu kelas berapa, kak?”

Tegas ku menjawab pertanyaan itu. Sembari  bertanya balik perihal sama.

“Oh, udah hampir lulus ya, kalo aku masih kelas tiga SMP.” Jawabnya memberi kabar bahwa dia masih SMP, artinya Arfa jauh lebih muda dari aku. Aku paham alasan dia bicara itu, tak lain dan tak bukan karena aku dari pertama kalinya tukar sapa panggil dia Mbak. May be! Dia gak enak dipanggil gitu.

Banyak kalimat saling tanya jawab antara aku dengan Arfa, mulai dari pengalaman, tentu pengalaman terindahnya, tentang bagaiman dia suka menulis, bagaimana dia kenal dunia literasi, bagaimana dia masuk dan cinta FLP, dan bagaiman cara dia menuangkan kata-kata lewat tulisan itu. Ternyata semua tentang dia tak jauh beda dengan apa yang ada pada diriku, tentang bagaimana cara kita menikmati waktu yang tuhan karuniai. Teramat bohong jika aku tak mengakui betapa bahagianya aku hari ini, sampai dialog yang terus saja dilapisi senyum manis antara aku dan Arfa terjeda.

“Firdaus…” Sapa Bu Atin dengan tangannya yang menetap di pahaku, mungkin dia sudah merasa dikacangin atas kecakapanku dengan Arfa yang sedikit lama. Segera aku menolehnya dan tersenyum, so that! Dia melanjutkan pertanyaannya.

“Firdaus sudah tahfidz berapa juz..?”

“Tidak sama sekali Bu, aku di pondok ngambil jurusan Bahasa, dan gak pernah menghafal Al-qur’an.” Jawabku jujur pada Bu Atin.

“Kak Firdaus bukan hafidz..?” Sambung Arfa membuatku harus menoleh ke samping kiri tepat dimana wajah sayu Arfa menatapku. Aku mengangguk dan tersenyum padanya, namun ku rasa sudah ada yang beda di hati Bu Atin dan Arfa. Sepertinya jujurku kali ini tak jadi respon baik pada mereka. Di menit berikutnya Bu Atin idzin ke toilet meninggalkanku dan Arfa berdua. Arfa yang sudah terlihat beda. Sunyi! Tiada kata berkelanjutan setelah kita benar-benar berdua. Dia semakin terlihat dingin, hanya senyum yang selalu bersentuhan saat-saat kita saling tatap. Hal itu membuatku semakin canggung untuk sekedar merajut kata buat dia. Sampai akhirnya Arfa sendiri yang berani memulainya.

“Kak Firdaus, apakah kamu sempat merasakan hal yang sama?”

“Mungkin!” satu kata yang benar-benar keluar dari hati.

“Maaf! Dari awal kamu ngaku sebagai santri, Ummi kira kak Firdaus seorang hafidz. Itu pasti alasan Ummi memperkenalkanku pada kakak. Fahamkah?” Tanya dia kemudian melanjutkannya.

”Maaf lagi! Aku tahu bagaimana rasanya jatuh dari kata harapan, ini juga bukan kali pertamanya aku merasakan hal yag sama. Sebab yang jelas, jatuh cinta kita adalah patah hati paling sengaja. Aku tak mau itu.” Bicaranya yang setelahnya beranjak dari sampingku ke belakang, selang beberapa detik aku menoleh padanya. Ternyata dia sudah bersama Bu Atin kembali, duduk di belakang. Aku sangat faham atas semuanya setelah dia menceritakan perihal  keluarganya, khususnya Abi dan Uminya yang menginginkan seorang Hafidz tuk mendampingi kehidupannya.

 

***

Wajahku tetap tersenyum, senyum paling pahit tanpa sengaja, sebab hati tengah mendesah resah menelan kekecewaan yang jua datang tanpa diundang. Dan kurasa ini bukan seutuhnya salah mereka sebab aku juga sempat memperseni harapan di atas perhatian mereka dari awal. Dari semua ini, aku tahu bahwa sesingkat apapun pertemuan kita dengan seseorang, bila sempat kita menaruh harapan padanya, pastilah datang rasa kecewa pas dia pergi berpaling. Sebab hati jernih benci harapan semu. Sudahlah, anggap semua yang terjadi hari ini, hanyalah tragedi asmara di alam bawah sadar, aku kembali menyimak sidang yang suah mau final.

Harapan itu seperti kau dikasih sayap oleh dia, dan dia juga yang mematahkannya sengaja di tengah-tengah kau menyeduhnya, so! Benar. Hanya satu kata yang sempat membuatku resah, yaitu harapan. Harapan yang sembarang kutitipkan.

Kini, tepat setelah kata sabar sukses memulihkan sedikit rasa pekat itu lewat senyuman termanisku, aku harus mengikhlaskan dia. Dia yang mau hadir, tapi aku tak bisa memenuhinya. Mungkin! Kata cinta yang sempat hampiri kita adalah cinta yang tak seharusnya ku miliki, hal itu hanyalah sekenario tuhan yang paling indah tuk ku jadikan kata pengalaman di kota ini, kota yang banyak menyebutnya sebagai tempat paling nyaman merebahkan resah. Dari hati ini yang paling dalam berkata, sure! This is the best for me. (*)

oleh : Rasul Firdaus (Calon GT 2020/2021,FLP ranting Banyuanyar).