Bahasa Arab: Denyut Peradaban
By: Faisal Amir | 18 Desember 2023 | 1484
Hari Bahasa Arab Sedunia 18 Desember
BAHASA ARAB : DENYUT PERADABAN
Oleh: Taqiyyah M. Shams el Arifin
AMERA namanya. Teman sekamar saya saat di asrama. Muslimah Mesir. Salah seorang Inspiring hafidzah yang Allah sempatkan saya menyerap langsung pendar cerlangnya.
Sejak dua belas tahun dalam usianya, Allah memuliakan otaknya bermemori keseluruhan Al-Qur'an. Ibundanya yang tumbuh dari keluarga yang tidak peduli dengan pendidikan agama, Allah buka jalan hidayah baginya dengan tumbuhnya keinginan untuk mengganti pola jahili yang sedang memenuhi memori otaknya dengan Al-Qur'an. Saat itu Amera masih balita. Itulah kemudian sunnatullah berlaku, seorang anak akan selalu mengikuti trend ibunya. Ibunya menghafal maka anaknya akan ikut menghafal. Hingga kemudian anak-ibu ini menjadi teman menghafal dan muraja’ah yang menyenangkan.
Amera selesai hafalannya, sang Ibu baru 10 juz berhasil dihafalnya. Apakah kemudian beliau berhenti? Tentu saja tidak. Selain karena tekadnya mengganti pola jahili yang sudah lama mengendapi memori otaknya dengan Al-Qur'an, beliau juga ingin menemani tumbuh-kembang anak-anaknya--Amera dan adik-adiknya--dengan Al-Qur'an. Maka beliaupun pantang menghentikan proyeknya, walau kemudian Amera sudah berhasil bermemori Al-Qur'an. Proyek itu pun terus bekerja membersamai tumbuh-kembang Amera dan adik-adiknya.
Saat ini, adik bungsunya sudah berusia 9 tahun dan telah berhasil menyelesaikan hafalannya. Bersama itu pula sang ibunda telah menyelesaikan qira’ah sab’ahnya.
Seorang yang memorinya Al-Qur'an itu memiliki daya serap terhadap ilmu yang cepat, dibanding yang memori otaknya bukan Al-Qur'an. Hal ini dapat saya lihat pada Amera dan keseluruhan keluarganya. Akselerasi hampir di semua jenjang pendidikannya. Usia 18 sudah selesaikan S1 kitab wa sunnah dari UQU.
Sejak kecil terbiasa dan menyukai membaca dan menulis. Tidak heran jika kemudian ia menjadi tempat terakhir sebagian besar kami wafidat saat itu, ketika kami deadlock untuk menyelesaikan tugas-tugas ta’bir. Sebuah kelemahan yang jamak dimiliki oleh para pemula dalam pembelajaran Bahasa Arab.
Ibunda Amera menjadi Ibu ideologis saya. Setiap hari Amera menelpon ibunya. Sesekali beliau menyapa saya. Menanyakan sudah makan siang, belajar dan detail aktifitas lainnya.
“Bersama Al-Qur'an itu proyek sepanjang hidup, Taqoo!” Itu salah satu pesan beliau.
Amera saat ini telah berkeluarga. Allah karunia satu bidadari dan satu pangeran. Kami masih komunikasi melalui group WA yang berisikan teman-teman yang sempat satu asrama. Amera jarang online, karena ia tidak ingin anaknya melihatnya memegang HP. Dia pegang HP ketika anak-anaknya sudah pada tidur.
Anaknya yang paling tua saat ini berusia empat tahun. Sering protes kepadanya, setelah dia bertekad mengubah bahasa ‘ammiyah-nya menjadi fusha. Tidak hanya protes, heran dan bengong menjadi ekspresi kebingungan anaknya melihat perubahan drastis Ibunya. Hal itu terjadi satu dua bulan awal perubahannya menggunakan bahasa fusha sebagai bahasa kesehariannya.
Hal tersebut bukan tanpa sebab. Justru karena kesadaran baru akan pentingnya Bahasa Arab menjadi salah satu identitas keberislamannyalah, perubahan radikal itu diambilnya. Awalnya dia memulainya dengan suaminya, setelah suaminya baru kemudian dengan anak-anaknya. Kini dia berhasil mengajak dua pertiga keluarga besarnya kembali menggunakan Bahasa Arab fusha. Bahasa Al-Qur'an.
Kesadaran apakah yang kemudian menjadi titik balik Amera menggunakan Bahasa Arab Fusha?
QQQ
Kesadaran menggunakan Bahasa Arab Fusha hadir dalam keseharian Amera, setelah dia membaca buku Al-Ihathah fii Akhbar Gharnathah. Pengetahuan Menyeluruh tentang Kabar Granada. Buku tersebut ditulis oleh Lisanuddin bin Al-Khateeb. Beliau mengatakan bahwa kemunduran Andalusia, bermula dari digunakannya Bahasa Arab ‘Ammiyah. Bercampurnya Bahasa Arab Fusha, yang selama 700 tahun Islam jaya di sana, menjadi bahasa nasional mereka- dengan Bahasa Spanyol.
Tidak lama setelah penaklukan Andalusia oleh kaum muslimin, Bahasa Arab telah mampu mengakar, hingga menjadi bahasa ilmu pengetahun dan budaya mereka. Bahasa Arab tidak hanya menjadi bahasa kaum muslimin Andalusia, juga menjadi bahasa orang-orang non-muslim. Para pemuda Nasrani pun tidak berbicara kecuali dengan Bahasa Arab dan sastranya. Mereka meyakini bahwa bahasa ini merupakan denyut bagi peradaban gemilang mereka.
“Pada awal abad sembilan, bahasa ini merupakan bahasa yang dipakai dalam dokumen-dokumen resmi negara. Saat itu ada juga seorang pastur dari Sevilia menerjemahkan Kitab Taurat ke dalam Bahasa Arab, sebagai bahan ajar kepada murid-muridnya. Kemudian teman sesama pasturnya murka, dengan dituduh ikut serta menyebarkan Bahasa Arab serta diragukan loyalitasnya. Sang pastur tersebut beralasan bahwa upaya penerjemahan tersebut, adalah satu-satunya cara untuk mendidik murid-muridnya.” Demikian Nicholson memberi gambaran bagaimana Bahasa Arab telah menjadi denyut pembangun, yang tidak terbendung dari sebuah peradaban di Andalusia.
“Nyaris pada saat itu Bahasa Latin kehilangan urgensinya, hingga menjadi sangat terdesak untuk menerjemahkan semua dokumen gereja dan Injil, ke dalam Bahasa Arab. Agar dapat mudah diakses oleh kaum Nasrani di Andalusia.” Pernyataan Thomas Arnold, seorang orientalis, menggambarkan kedudukan Bahasa Arab pada masa kejayaan Islam di Andalusia, dalam kitabnya Ad-Da’wah Ilal-Islam. Dakwah kepada Islam.
Bahasa Arab yang tersebut di atas adalah Bahasa Arab Fusha. Bahasa Al-Qur'an. Bahasa yang menjadi denyut utama bagi terbangunnya peradaban Islam gemilang di Andalusia. Bahasa ini kemudian mulai bercampur dengan Bahasa Spanyol, hingga menyebar Bahasa Arab ‘Ammiyah. Bahasa inilah kemudian yang mencipta jarak antara orang-orang Andalusia dengan Bahasa Ilmu dan Sastra.
“Bahasa penduduk Andalusia banyak mengalami penyimpangan, sejak bercampurnya Bahasa Arab Fusha dengan Bahasa Spanyol, hingga menjadi Bahasa Arab ‘Ammiyah.” Demikian Ibnu Sa’id Al-Maghriby mengatakan penyimpangan yang menjadi permulaan bangunan peradaban itu runtuh.
Al-Muqry di dalam kitabnya Nafhuth Thib juga mengatakan bahwa orang-orang Andalusia dan para Ilmuwannya juga berinteraksi dan berbicara dengan Bahasa Arab yang menyimpang (dalam hal ini ‘Ammiyah). Sebagaimana juga Ibnu Hazm mengingatkan bahwa pengaruh perubahan mendasar dari bahasa orang-orang Andalus, dari Bahasa Arab Fusha menjadi ‘Ammiyah ini berdampak, pada hadirnya banyaknya kosakata baru, yang oleh orang-orang awam dijadikan sebagai penjelas bagi dalil-dalil syari’at, hingga kemudian menjauhkannya dari pemahaman prinsip syari’at, yang sebenarnya dan seharusnya.
QQQ
Amera sadar bahwa Bahasa Arab Fusha adalah bahasa yang harus menjadi bahasa satu-satunya lisannya. Kesadarannya itu ditularkan kepada keluarganya. Hingga kepada kami teman-temanya, yang pernah satu asrama dengannya.
“Saya bersyukur pernah menjadi bagian dari kalian, ghaliyaaty. Setiap fusha yang terucap dari lisan saya, saya serasa bernostalgia, serasa masih bersama kalian, menemani kalian meyelesaikan tugas-tugas ta’bir. Hari-hari bersama kalian adalah hari-hari yang sangat indah, karena tidak satupun kata yang terucap, kecuali fusha. Allah memilih kalian untuk balajar mengucap dan menulis Bahasa Arab Fusha, jagalah dan terus kembangkan. Semoga upaya kecil ini Allah catat kita menjadi bagian dari batu bata pembangun kembali peradaban Islam.” Demikian panjang lebar Amera menutup pesan pentingnya menjadikan Bahasa Arab Fusha sebagai bagian yang tidak terlepas dari lisan, pikiran dan hati kami.
QQQ
Selamat Hari Bahasa Arab Sedunia. Semoga kesadaran Amera akan jamak menjadi kesadaran kita semua. Sehingga kita bisa menjadi bagian dari denyut kejayaan peradaban Islam. (*)
Taqiyyah M. Shams el Arifin, Seorang Writer – Traveler - Hiker