Tiga Bulan Sebelum Pelaminan #2

By: Ach. Jalaludin | 25 November 2020 | 335
gambar  ilustrasi
gambar ilustrasi

"Hey!" Panggilku ketika dia sudah beberapa langkah menjauhiku. Aku tidak tau kenapa aku harus memanggilnya, di tengah keadaanku yang seperti ini, aku sangat ingin seseorang menemaniku, aku kesepian sekali. Melihatnya tadi yang dengan tenang menolongku membuatku nyaman.

"Ya?" Dia menolehku, "ada apa?"

"Hm..., bolehkah aku ikut ke panti asuhan? aku tidak punya aktivitas, siapa tau ada yang bisa aku bantu."

"Boleh saja, ayo kalau begitu!"

Aku menghampirinya, kini langkahku menyamai langkahnya untuk pergi ke panti asuhan. Meski aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, janin di dalam perutku membuatku trauma.

"Kamu terlihat sangat tertekan." Ucapnya tanpa menoleh ke arahku.

"Tidak, aku baik-baik saja. Cuma kemarin aku berhenti dari tempat kerjaku." Soal keberhentianku dari tempat kerja itu benar. Satu bulan yang lalu aku bekerja di salah satu Indomaret, tapi setelah tau aku hamil oleh salah satu karyawan di sana, aku muak! Aku tidak ingin berbicara tentang dia lagi!

"Benarkah, kenapa?"

"Yah.. bosen, hehe..." Aku tersenyum ke arahnya, tentu aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya.

"Semua pekerjaan memang membosankan... eh, siapa nama kamu?"

"Bila."

"Aku Heri," ia berhenti sejenak, "semua pekerjaan itu memang membosankan, kamu berhenti dari pekerjaanmu yang sekarang ke pekerjaan lainnya itu nantinya juga akan membosankan."

"Ya tapi aku memang tidak suka pekerjaan itu."

Heri berhenti, kami sudah sampai di pinggir jalan, dia melihat kanan kiri untuk menyebrang. Setelah dirasa aman, kita pun menyebrang.

"Memang apa pekerjaan yang kamu sukai?" Tanyanya ketika kami sudah di seberang.

"Seperti editing, nulis dan lainnya. Pokoknya aku suka bekerja di depan komputer. Nggak kayak pekerjaanku yang kemarin, cuma di komputer kasir."

"Oh.. jadi kamu suka editing dan nulis, tepat sekali kalau begitu!" Dia tampak senang, matanya bersinar melihatku. "Kebetulan majalah di panti sudah lama vakum karena nggak ada yang ngurus, gimana kalau kamu yang ngurus? Ya masalah honor ada, tapi tidak begitu besar."

"Benarkah? Nggak papa sih kalau begitu. Aku cuma suka aja nulis. Hm.. kalau gitu, aku kerjanya mulai kapan?"

"Sekarang!" Tegas Heri.

Sejak malam itulah aku dan Heri semakin dekat. Setiap malam aku dan Heri janjian di taman ini untuk pergi ke panti asuhan.

Kadang kita juga ketemuan di luar keperluan panti asuhan. Entah itu sekedar jalan-jalan atau makan malam. Aku sangat terhibur sekali. Ternyata Heri orang yang nyaman untuk diajak ngobrol, atau bahkan curhat. Dia tidak hanya asyik saat ketemuan, tapi juga di media sosial.

Akhirnya satu bulan kemudian majalah pertama pun terbit. Majalah itu kami jual ke toko buku, sekolah dan panti asuhan lainnya. Alhamdulillah laku dan pendapatannya lumayan banyak.

Pendapatan itu kami putuskan untuk merenovasi taman panti asuhan. Menambahkan alat untuk bermain dan membaca. Aku sangat bangga, di tengah keterpurukanku, ternyata aku masih berguna.  Mungkin untuk beberapa hari ke depan, sebelum perutku sangat besar.

Ya, soal janin yang semakin hari semakin besar dalam perutku itu tidak bisa dihindari. Kadang aku menangis dan ingin menjauh dari siapapun, tapi kehidupan baru di panti asuhan terlalu berharga untuk ku tinggalkan. Kehidupan panti asuhan, bermain dengan anak-anak, mengajari mereka membaca dan menulis membuatku tenang. Setidaknya aku sudah tidak malu untuk memakai mukena, sholat di tengah malam, berdoa memohon jalan keluar. Meskipun aku masih merasa bersalah dan malu, menemui tuhan yang maha pengasih dengan janin lelaki bejat ini.

Tidak, aku tidak ingin menyebut ini janin lelaki bejat, ini janinku. Aku berhak mengutuk lelaki itu, tapi tidak dengan janin ini. Keseringanku melihat anak-anak di panti asuhan yang kadang tidak tau latar belakangnya dari mana, membuatku sadar untuk tidak selalu membenci janin di perutku. Yang aku takuti adalah bagaimana hubunganku dan Heri ketika tau aku telah hamil. Apakah dia tetap memperlakukanku seperti sekarang, atau dia membenciku sebagai wanita paling kotor?

Saat itulah, ketika kehamilanku genap dua bulan, Heri mengajakku bertemu di kafe.

“Bil, aku sedari kecil hidup sendiri, dibesarkan di panti asuhan yang satu ke panti asuhan lainnya. Sampai sekarang aku tetap di panti asuhan. Aku orangnya tidak baik, Bil, tapi juga tidak terlalu jahat. Hanya saja kadang aku…”

“Sebenarnya kamu mau ngomong apa sih, Her?” Aku memotong perkataan Heri. Melihat wajahnya berkeringat dan perkataannya tak terkontrol membuatku heran. Kami sudah sangat akrab, biasanya dia selalu berterus terang. Aku melihat dia selalu dengan pikiran terkontrol dalam hal apapun.

“Baiklah…” Heri menarik napas sesaat, “Bil, bisakah aku menjadi suamimu?”

To be continued…