Santri Galau

By: Abd. Salam Cahya Sasmita Jd | 09 Desember 2024 | 99
Ilustrasi: Cahya
Ilustrasi: Cahya

“Wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhroja, wa yarzuqhu min haitsu la yahtasib.” (At-Talaq (65:2-3))

Terlihat beberapa santri sedang menyetor bacaan Al-Qur’an pada asatidz masing-masing. Terlihat pula di tangga pinggir masjid, Jamal sedang merenung menghadap ke langit yang jauh. Dan PLAKKK!

“Woi, lagi santai, kawan!” ucap Ja’far dengan nada sambil memukul pundak Jamal.

Jamal hanya menoleh dengan wajah datar dan kembali menghadap ke atas. Melihat tingkah kawannya yang tak seperti biasa, Ja’far pun bertanya,

“Ada apa, bro? Apakah ada masalah?”

Helaan nafas panjang dilakukan Jamal, mengubah duduknya yang awalnya berselonjor ke posisi bersila.

“Aku mikirin hidupku ke depannya, Far. Setelah lulus dari pondok, aku mau jadi apa? Apakah aku bisa membahagiakan orang tua? Apakah aku bisa bermanfaat untuk manusia? Apakah aku bisa menggapai cita-cita? Dan apakah aku bisa mengamalkan ilmu yang telah lama ditimba?”

Kata demi kata terucap dari mulutnya yang membuat Ja’far ikut berpikir sejenak. Benar saja, mereka hidup sekarang karena uang dari orang tua yang konsisten setiap bulannya. Kerja mereka sekarang cuma belajar terus dapat uang, lalu bagaimana di hari esok setelah lulus? Mereka terdiam lama sampai akhirnya kawan terakhir mereka datang. Jalal, grup mereka tidak lengkap jika salah satu dari mereka tak ada.

Jalal yang datang kebingungan karena kedua temannya yang nampak sedang galau. Sebagai kawan yang baik, Jalal ingin mengubah suasana hati kedua temannya walaupun belum tahu masalahnya apa.

“Uyy, besok kiriman akbar, loh. Udah pada nelpon belum nih? Nelpon yuk, minta abon buat tambahan lauk kita nanti,” ucap Jalal sambil tersenyum selebar-lebarnya. Namun, mereka tetap saja murung. Nampak tak bahagia meskipun kiriman adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh para santri.

“Kita sedang mikir masa depan, Lal. Takutnya meskipun kita mondok lama, enam sampai tujuh tahun, eh, setelah lulus tetap hidup susah, tak bisa membahagiakan orang tua,” kata Jamal yang melihat wajah kebingungan Jalal.

“Kalau dipikir-pikir, selama setahun kita mondok dapat apa aja, ya? Apakah itu semua berguna untuk kita kerja nanti? Kamu juga pasti mikirin itu kan, Lal?” Ja’far ikut menimpali dengan raut wajah yang tak kalah sedih membayangkan wajah orang tuanya yang kecewa melihat anaknya tak menjadi apa-apa.

Jalal membenarkan peci dan duduknya, menelan saliva sebentar, dan berkata,

“Aku tidak takut pada yang namanya susah. Selagi aku masih hafal Bismillah dan Alhamdulillah, aku yakin Insya Allah segala urusan akan selalu dipermudah.”

Mendengar kata-kata indah itu, Jalal dan Ja’far terkejut. Terlihat truk pengangkut sampah yang dikendarai petugas kebersihan lewat di samping masjid.

“Inti dari surah At-Talaq ayat dua dan tiga menerangkan bahwa Allah akan memberikan kita rezeki dari jalan yang tak kita duga. Tugas kita cukup bertaqwa lalu tawakkal pada Allah ya sambal usaha kerja juga dong. Percaya deh, kawan, kita pasti bisa kok membahagiakan orang tua kita.”

“Udahlah yuk, kita ke kamar. Emang kalian nggak lapar? Kalau nggak mau, yaudah aku makan sendiri,” ajak Jalal biar kedua temannya itu keluar dari kegalauan yang mereka buat sendiri.

Terkadang beberapa santri terlambat berpikir dewasa bahwa mereka tak selamanya hidup enak di pondok. Cuma belajar, dapat gaji setiap bulan. Realita kehidupan tidaklah senyaman itu, di luar pondok lebih keras cobaannya ketimbang waktu kita berada di pondok. Pada akhirnya, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa uang kiriman dari orang tua setiap bulan tidak kita sia-siakan, melainkan kita fungsikan ke hal-hal yang memang sangat bermanfaat.