Menjamu Etika Moralitas Politik Kepada Anggota Dewan.

By: Ahmad Imron | 31 Oktober 2021 | 650
Sumber Google.com
Sumber Google.com

Oleh: Muhammad Hasbullah

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Banyak yang mengatakan politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karenanya kekuasaan politik harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan. Pijakan berpikir inilah yang digaungkan oleh para pendukung moral-etis sebagai tolak ukur mendiskusikan persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya terhubung dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat. Politik adalah tugas jabatan dan panggilan hidup, demikian dikatakan oleh Max Weber. Ia memberikan tesis tentang politikus harus menyadari bahwa politik ist Beruf und Berufung. Jika hal itu tidak dilakoni secara baik, para politikus hanya akan menjadi apa yang dikatakan Aldous Huxly sebagai political merchandiser, pedagang politik, dimana yang dipentingkan adalah keuntungan pribadi. Lembaga-lembaga politik pun dijadikan sebagai medan transaksi dan komersialisasi politik. Hal inilah yang kemudian menggugurkan tesis Max Weber tadi. Banyak kasus korupsi yang terjadi di lembaga legislatif atau DPR, Politik tidak lagi menjadi tugas jabatan dan panggilan hidup, tetapi hanya sekedar mengeruk kekayaan sebanyakbanyaknya.

Tesis Max Weber pada hakikatnya bukan tanpa makna. Ia sebenarnya membidik sosok politikus sejati di berbagai strata dan lembaga politik. Politikus sejati adalah politikus yang melakoni sejatinya politik. Bahkan Plato sendiri dalam Republic dan Aristoteles dalam Politics menuliskan bahwa sejatinya politik itu agung dan mulia, yang dapat dijadikan sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat peradaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, etika, moral dan norma, sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan dan kemaslahatan umum. Seorang politikus sejati di lembaga politik mana pun harus melakoni politik dengan mengutamakan pengorbanan demi kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya. Maka, pengabdian seorang politikus sejati bukan semata karena uang, keuntungan dan kesenangan, tetapi karena ingin menjalankan tugas panggilannya dalam bidang politik, dan menjalankan amanat rakyat. Tetapi hal itu bertolak belakang dengan realita yang terjadi di Negara Indonesia. Politikus yang telah menjabat sebagai anggota Dewan belum mampu memberikan cerminan etika politik yang baik. Kepentingan kelompok dan individu lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat banyak.

Etika dan Moralitas Anggota Dewan Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”. Istilah “etika” sebenarnya memang berasal dari bahasa Yunani kuno yakni ethos dalam bentuk tunggal memiliki arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Dengan membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1953) “etika” dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika, atau yang disebut dengan filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa menjadi kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik. Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari mudahnya saja. Keadaban bangsa sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada Pancasila hancur karena politik identik dengan kepentingan. Kepentingan politik menjadi acuan kebijakan yang diambil dalam ruang publik. Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat “miris”. Kemunduran etika politik para elite salah satunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa, menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang dijauhi. Sebagai masyarakat yang modern, untuk mengetahui pentingnya etika dalam pelaksanaan sistem politik di Indonesia adalah perlu.

Dilema Etik-Moral Politik Parlemen Parlemen, secara ideal, laksana Academy-nya Plato, yaitu lembaga politik tempat persemaian pemikiran-pemikiran brilian dan pertukaran-pertukaran ide-ide jenius di kalangan politikus, yang mengemban misi utama sebagai perumus kebijakan negara. Politikus di parlemen adalah kumpulan negarawan yang dengan kebajikannya mampu melahirkan gagasan-gagasan cemerlang yang memberi pencerahan kepada masyarakat. Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; dan bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker, 1961). Secara konstitusional, para politikus di dewan mengemban tiga peranan penting. Sebagai policy maker, mereka harus mampu merumuskan kebijakan-kebijakan strategis yang memihak kepentingan publik. Sebagai legal drafter, mereka dituntut membuat undang-undang yang dapat menjamin legalnya keadilan sosial dan keteraturan hidup bermasyarakat. Dan sebagai legislator, mereka harus menjadi “penyambung lidah rakyat” guna mengartikulasikan aspirasi kepentingan warga. Karena itu, menjadi sangat aneh jika dalam pelaksanaan tugas-tugas, mereka mengabaikan apa yang disebut etika dan moralitas politik. Dengan etika dan moralitas politik, para politikus di parlemen dapat melakoni politik sesuai dengan tujuan berpolitik itu sendiri yakni menyejahterakan rakyat, bukan mencari peruntungan materi dan kemuliaan diri. Etika politik biasanya dilawankan dengan etika individu, etika kelompok, atau etika institusi yang hanya menyuarakan aspirasi sepihak. Dan kehadiran etika dan moralitas politik ini pada hakikatnya berupaya mengatasi berbagai sekat kepentingan. Misalnya, etika dan moralitas dijadikan rambu-rambu bagi anggota dewan untuk tidak melihat segala posisi, kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan materi, apalagi dengan jalan korupsi. Hanya saja, muncul sebuah persoalan serius, bagaimana implementasi etika legislatif itu? Dennis F. Thompson, misalnya, meragukan adanya etika legislatif dengan mengajukan pertanyaan, apakah etika legislatif itu mungkin? Pertanyaan ini menjadi menarik dikatakannya, tuntutan etis dari peran DPR berkonflik dengan tuntutan etika umum, atau etika eksekutif sendiri. Karena eksekutif memiliki mekanisme kerja hierarkis yang meniscayakan adanya kontrol antarsesama dalam internal lembaga, sedangkan dalam legislatif terdapat mekanisme kerja secara kolegial. Sehingga, korupsi “berjamaah” di dewan, kerap didiamkan jika tidak ada pihak yang berani membongkarnya. Dalam sistem kerja yang kolegial, kesuksesan atau kegagalan dalam berlegislasi akan amat tergantung satu sama lain. Dosa seorang atau sekelompok dewan dapat tidak mempan terhadap kritik, sebab mereka dapat bersembunyi di balik koleganya. Fungsi kontrol seorang anggota dewan akan menjadi tumpul ketika diarahkan kepada koleganya. Untuk itulah tatkala publik begitu sering mengeritik segala kebobrokan di dewan, seperti korupsi dan perilaku amoral lainnya, mereka tetap saja tidak peduli. Sehingga, sepak terjang politik mereka pun tampak tetap jauh dari bingkai etik dan moral dan kerap tidak menjadikan etika dan moralitas sebagai pedoman dan tujuan dalam berpolitik.

Ajakan kepada perilaku etis-moral bagi anggota dewan harus dikedepankan, agar para anggota dewan berjalan pada jalur utama etika dan moralitas, sehingga dengannya dapat dijadikan sebagai pijakan dasar sekaligus tujuan berpolitik. Para anggota legislatif tentu bukanlah nabi atau malaikat yang luput dari dosa dan tidak punya hawa nafsu untuk mendapatkan keuntungan dari setiap tugas yang dilaksanakan. Tetapi, para politikus sebagai anggota dewan terhormat harus mampu menjaga kehormatan dirinya lewat pelaksanaan tugas yang menjadikan etika dan moralitas baik sebagai pijakan maupun sebagai tujuan. Anggota dewan yang selalu berjuang untuk menjaga dan meningkatkan citra, kewibawaan dan kehormatan diri sebagai anggota lembaga yang terhormat lewat pelaksanaan etika dan moralitas politik secara serius dengan mereformasi lembaga wakil rakyat, selain membuang jauh-jauh watak serakah dan korup. Sebab, secara normatif, etika dan moralitas diwajibkan dan merupakan prinsip yang harus dijalankan agar mereka dapat menjadi politikus sejati pengemban tugas mulia panggilan Ilahi.(*)

Muhammad Hasbullah di pelataran Basa Basi Sorwajan