Homohinilupus: Hegemoni Kasus Wadas Dalam Pandangan Filsafat Michel Foucault

By: Ahmad Imron | 19 Februari 2022 | 471
Dari berbagai sumber
Dari berbagai sumber

Oleh: MUHAMMAD HASBULLAH_20105010048 Prodi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikir

Sebelum ke pembahasan judul diatas, mari kita sambil lalu merenungi tulisan sederhana ini tentang kasus yang bertahun tahun dimasyarakat Purwerojo tepatnya di desa Wadas yang dalam tanda kutip masih mengalami keserakahan pemerintah.

 ‘Itu kelakukan pemerintah bukan? Menyembunyikan banyak hal dan berpura-pura tidak akan ada yang tahu’ (Siddharta Sarma, Tahun Penuh Gulma)

Kalau saya menentang, khawatir hal itu nantinya berdampak pada berbagai macam hal lain, misalnya, dipersulit saat mengurus administrasi dan semacamnya (Mujiyanto, warga pro penambangan, Kompas 14 Februari 2022)

Hari-hari ini berita tentang desa Wadas mencuat begitu rupa. Kehadiran aparat keamanan dalam jumlah raksasa itu mengejutkan banyak kalangan. Apalagi penangkapan warga menambah kontroversi situasi disana. Sulit saya meraba bagaimana suasana hati warga desa setelah peristiwa itu. Ormas NU dan Muhammadiyah punya sikap yang serupa: mengutuk tiap bentuk kekerasan. Ganjar Pranowo sebagai Gurbenur Jateng menjanjikan adanya dialog sambil minta maaf pada warga desa Wadas. Tapi keputusan soal penambangan tampaknya tidak berubah. Warga yang tidak setuju akan diberi penjelasan, diajak dialog dan dipastikan didengar. Akhir kisah dusun Wadas seperti sudah tertulis dalam skenario banyak pihak: rencana proyek strategis Nasional mustahil diubah. Desa itu akan ditambang yang hasilnya untuk  bahan buat waduk.

Pemerintah sepertinya sulit ditundukkan keinginanya. Semua rencana yang disusun harus terwujud. Dari pindah ibu kota hingga pembuatan waduk musti terealisasi. Siapa saja yang keberatan dapat mengajukan tanggapan: menguji keputusan itu melalui jalur pengadilan atau melakukan dialog yang tidak mengubah rencana. Semua rencana itu harus dipahami, dimengerti dan wajib disetujui. Bahkan ada Ormas keagamaan yang dalam pernyataan sikapnya menilai proyek strategis nasional itu keputusan yang baik untuk didukung. Mereka lupa untuk bertanya pada warga desa yang selama ini bersikukuh untuk menolak: bertahun-tahun sosialisasi dilakukan tapi mengapa masih ada warga yang keberatan. Apakah itu karena model sosialisasinya atau karena sosialisasi itu berisi ancaman atas hak hidup warga. Kita bahkan mengabaikan fakta kalau proyek strategi nasional itu belum tentu dipahami apalagi mendapat persetujuan warga. Namanya masih ‘Rencana’ tapi pemerintah memahami itu sebagai ‘wajib dilaksanakan segera’.

Logika sederhananya: rencana itu yang susun pemerintah bersama pendukungnya. Disusul oleh realisasi rencana. Salah satu yang segera direalisasikan adalah waduk. Bahan untuk membuatnya ditambang dari tanah warga desa. Saat keputusan itu muncul tak semua warga menyetujui. Itu wajar karena ‘menambang’ bukan kegiatan menggembirakan. Ada truk, traktor hingga alat-alat berat. Mustahil menambang itu hanya butuh doa lalu batu terbit dengan sendirinya. Layak jika warga desa itu kuatir: lalu lintas jalan desa akan padat, orang asing berdatangan dan itu semua bukan terjadi semalam. Peristiwa itu bukan sepele, singkat dan mudah. Terutama untuk warga yang berdiam disana: pak Ganjar hingga pak Mahfud tidak tinggal disana. Apalagi pak Bupati dan Kapolda. Mereka yang selama ini hanya bilang semua langkah aparat sesuai prosedur, proyek strategis itu vital hingga semua ketakutan itu bisa didialogkan. Rasanya penting untuk mereka tinggal di daerah tambang selama sebulan: nikmatilah udara dari proyek strategis itu dan rasakan prosedur proses penambangan.

Merasakan menjadi ‘rakyat’ itu penting. Karena jangan sampai pengetahuan kita tentang rakyat itu hanya muncul lewat kegiatan Pemilu saja. Adalah rakyat yang selama ini menjadi jantung dari kehidupan desa. Merekalah yang ‘menjaga, merawat hingga menghidupkan’ desa. Kalau tak percaya datanglah ke desa Wadas tanpa prasangka. Hiruplah udara disana dan nikmatilah aroma tumbuhan yang melingkari tanah desa. Sapalah penduduknya yang hangat, ramah dan baik. Aliran sungai yang jernih itu seperti mengingatkan kita akan kisah taman firdaus. Pohon durian, bambu yang dianyam hingga tanaman kopi yang dikemas adalah kekayaan berlimpah. Belum lagi warga desa yang di pagi hari sudah mengolah tanah, mengemas harapan dengan bekerja di ladang hingga menerima tamu siapa saja dengan niat terbuka. Saya mengalami langsung keramahan itu. Nyaris sulit memahami berbagai tuduhan soal pro dan kontra warga, soal kedatangan orang asing hingga stigma pemberontakan segala. Pro dan kontra warga itu muncul sesaat setelah ada kebijakan soal penambangan. Jauh sebelumnya mereka hidup rukun, bersatu dan bersama. Baiknya ormas keagamaan bertanya apa yang membawa perseteruan itu, siapa yang harusnya bertanggung jawab sehingga dusun yang tentram itu jadi beraroma konflik dan malah patut mereka memintai tanggung jawab mengapa ada penangkapan dan penggeledahan segala.

PANDANGAN FILSAFAT MICHEL FOUCAULT

Perkembangan konsep-konsep senantiasa mengalami perbedaan pada zaman-zaman tertentu dengan para pemikir yang berbeda-beda. Perbedaan pemikiran-pemikiran, sebenarnya demi mewujudkan pencarian para pemikir terhadap banyaknya realitas dalam menentukan adanya suatu konsep yang dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk pemikiran yang selanjutnya.

Sejak dari zaman Yunani kuno hingga era postmodern ini, terdapat sejumlah filsuf dengan pemikiran-pemikiran yang khas dan saling mempengaruhi. Secara khusus tentang kekuasaan yang dibahas dalam tulisan ini, oleh perspektif Michel Foucault, berkembang pada era postmodern, memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dalam sejarah perjalanan ide-ide filsafat tentang kekuasaan. Pemikiran Foucault tentang kekuasaan menjungkirbalikan konsep kekuasaan yang terlampau dipahami sebagai milik subyek tertentu atau oleh kelas tertentu dengan khusus dilegitimasi oleh Negara. Kekuasaan pun karena dimiliki oleh kaum tertentu sehingga yang lainnya didominasi bahkan dengan memproklamirkan jalan kekerasan, penindasan represif sebagai perwujudan kekuasaan. Sebagaimana maksud Hobbes tentang harus menjadi serigala bagi yang lain, Machiavelli tentang kekerasan sebagai jalur kekuasaan untuk menaklukkan, serta maksud Marx tentang kekuasaan mendominasi dari kelas kaum borjuis terhadap kaum buruh, Foucault menolak konsep dan praktek kekuasaan seperti ini.

Kekuasaan bukanlah milik subyek tertentu melainkan ada dalam diri setiap orang sebagai strategi, sehingga akhirnya kekuasaan itu ada di mana-mana. Dikatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana seturut konsep kekuasaan sebagai strategi canggih yang dapat ditempuh oleh setiap orang dari dalam dirinya sendiri sejak ia memiliki kehendak untuk mengetahui. Kekuasaan bekerja seturut kuatnya perbedaan-perbedaan yang ada. Kekuasaan menjadi ada karena banyaknya perbedaan. Dalam banyak perbedaan dapat dibangun relasi atau jaringan sehingga melalui jaringan itu kekuasaan muncul. Dan karena perbedaan-perbedaan ini, maka kekuasaan dapat beroperasi melalui Normalisasi (Menjaga) dan Regulasi (Melarang-Menghukum). Menjaga dan Menghukum, tidak ditempuh sebagai cara-cara untuk menindas apalagi halal kekerasan, tetapi sebagai tindakan pendisiplinan untuk mencegah pihak-pihak lain ketika ada praktek dominasi terhadap pihak lain pula.

Kekuasaan adalah model strategis canggih dalam masyarakat tertentu, yang dibentuk dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Kekuasaan berkaitan dengan strategi dan bukanlah menjadi milik orang-orang tertentu melalui kesepakatan tertentu. Kekuasaan adalah daya yang ada dalam diri setiap orang. Kekuasaan juga tidak bersifat berasal dari adanya kekuasaan terpusat yakni negara. Kekuasaan tidak dipahami sebagai pemberian dari negara. Sehingga pemahaman tentang kuasa hanya dapat dikenakan pada presiden atau seorang raja dalam negara. Kekuasaan itu ada pada tiap orang karena itu kekuasaan itu lebih berkaitan dengan bagaimana strategi untuk berkuasa.

Pelaksanaan kekuasaan tidak pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan seperti yang dimaksudkan oleh Hobbes dan Locke. Kekuasaan pertama-tama bukan bercorak represif (Freud) atau pertarungan kekuatan (Machiavelli, Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Foucault mengatakan dengan kekuasaan “harus dipahami pertama-tama banyak dan beragamnya hubungan-hubungan kekuatan yang melekat pada bidang hubungan-hubungan tersebut dan organisasinya. Permainannya akan mengubah, memperkuat, membalikkan hubungan-hubungan itu melalui perjuangan dan pertarungan terus-menerus”. Kekuasaan berarti menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ketidaksetaraan ekonomi, dalam bahasa, dan bahkan dalam tubuh kita masing-masing. Foucault mencoba mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya: kekuasaan tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui.

KUASA BUKANLAH MILIK MELAINKAN STRATEGI

Kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi. Kekuasaan berkaitan dengan strategi praktek dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami penggeseran. Kekuasaan tidaklah dipahami dan dipraktekkan sebagai milik sehingga dengan itu maka kekuasaan menjadi sarana untuk saling mendominasi secara global dari kelas tertentu ke kelas yang lain.

KUASA TERDAPAT DI MANA-MANA

Kuasa tidak dimaksudkan secara subyektif dengan melekat pada orang-orang tertentu saja. Kekuasaan bekerja melalui strategi-strategi yang berlangsung di mana-mana. Kekuasan semakin terealisir melalui adanya perbedaan-perbedaan. Adanya banyak sistem regulasi, adanya relasi sosial manusia entah dengan sesama maupun dengan lembaga, dengan itu semakin menampakkan kekuasaan.

Kekuasaan bekerja seturut perbedaan sehingga indikasinya adalah banyak kuasa seturut perbedaan-perbedaan. Karena banyak perbedaan-perbedaan maka membutuhkan strategi kuasa yang dapat diterapkan dalam hidup bersama.

Foucault menjelaskan beberapa cirri khas dari kekuasaan yang dalam karya mini hanya dapat disebutkan saja, yakni : Kekuasaan itu ada di mana-mana dan tidak dapat dilokalisir; merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan; memberi struktur kegiatan-kegiatan; tidak represif tetapi produktif; serta melekat pada kehendak untuk mengetahui.

KUASA BEKERJA MELALUI NORMALISASI DAN REGULASI

Strategi kuasa tidak bekerja melalui jalan penindasan melainkan melalui Normalisasi dan Regulasi atau Menjaga dan Menghukum sebagai sebuah tindakan Pendisiplinan. Sebagaimana dalam kehidupan bermasyarakat Menjaga dan Menghukum selalu ditempuh sebagai tindakan pendisiplinan.

Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi (tekanan psikologis). Kuasa tidak boleh terwujud melalui jalan kekerasan, jalan teror dan propaganda dengan ideologi-ideologi ekstrim tertentu. Dalam kaitan operasi kuasa ini, Haryatmoko dalam makalahnya menguraikan lima cara bagaimana kekuasaan beroperasi. Kelima cara ini akan diuraikan dengan singkat dalam tulisan ini. Pertama, kekuasaan tidak diperoleh, diambil atau dibagikan, kekuasaan berjalan dari berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak. Kedua, kekuasaan itu cair karena di mana ada perbedaan terbuka hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen, artinya hubungan kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan, ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan. Ketiga, hubungan kekuasaan tidak berada dalam posisi suprastruktur. Kekuasaan datang dari bawah, artinya tidak ada oposisi biner antara yang didominasi dan yang dominan. Hubungan-hubungan kekuatan itu banyak dan terbentuk serta bermain di dalam aparat produksi seperti di keluarga, kelompok, institusi, keseluruhan tubuh sosial. Ke empat, hubungan kekuasaan itu intensional. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran. Orang bisa memahami hubungan kekuasaan dalam kerangka tujuan dan sasaran. Tujuan dan sasaran ini tidak dimiliki oleh individu atau suatu kelas, tetapi dalam bentuk anonim, hasil dari situasi-situasi lokal. Strategi adalah anonim bukan kenyataan subyek. Foucault menempatkan wacana tentang seks bukan dalam kerangka kekuasaan tunggal dan sentral yang menindas atau sistem hukum kedaulatan, tetapi dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang sekaligus banyak dan selalu bergerak. Kelima, di mana ada afirmasi kekuasaan, di situ ada resistensi. Ketika ada afirmasi kekuasaan selalu ada perlawanan, bukan dalam arti kekuatan dari luar atau yang berlawanan, tetapi karena adanya kekuasaan itu sendiri.

KUASA BERSIFAT PRODUKTIF

Kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu. Kuasa memproduksi realitas bukan menghancurkan realitas. Kuasa menegaskan relasi kemanusiaan bukan menempatkan manusia sebagai obyek kuasa secara kejam.  Kekuasaan menghasilkan pengetahuan, sebab salah satu strategi kekuasaan adalah melekat erat dengan kehendak untuk mengetahui. Kuasa akan dengan sendirinya ada pada diri seseorang ketika apa yang diketahuinya diwacanakan melalui bahasa dalam relasi sosial dengan memenuhi tuntutan-tuntutan ilmiah sehingga apa yang diungkapkan itu merupakan pernyataan-pernyataan ilmiah yang logis dan masuk akal.

Kuasa karena semakin eksis dalam perbedaan, maka supaya perbedaan-perbedaan yang ada itu makin berarti penggunaan kekuasaan haruslah bersifat produktif. Produktifitas kekuasaan juga semestinya dialami tanpa tekanan tertentu. Dalam kaitan dengan Normalisasi dan Regulasi, strategi kuasa sering menjaga dan menghukum serta melarang, tetapi itu tidak dengan maksud menekan pihak tertentu. Justeru dengan strategi ini produktifitas makin nampak karena setiap perbedaan diterima dan dihargai sebagai yang saling sama dalam memiliki kekuasaan.

KESIMPULAN

Foucault dengan pemikirannya membeberkan pengetahuan baru yang mungkin saja baru disadari. Kekuasaan karena dipahami sebagai strategi, maka tidak dapat disangkal pula bahwa manusia yang hidup pada era modern ini membutuhkan strategi yang cocok demi kelayakan hidup sosial. Manusia karena tidak bisa hidup sendirian, maka ia menempatkan dirinya dalam ruang lingkup sosial. Dan dalam ruang lingkup sosial atau jejaring sosial itu ia hidup bersama dalam suatu tata organisasi yang tidak saling mendominasi. Manusia membutuhkan strategi seturut itu pula kekuasaan dapat bekerja sebagai strategi yang ada dalam diri manusia sendiri. Strategi yang ada itu tidak hanya tinggal diam dan ikut arus melainkan memiliki cara beroperasi. Kekuasaan dapat beroperasi melalui Normalisasi dan Regulasi. Atau seperti yang dijelaskan oleh Haryatmoko dengan lima cara bagaimana kekuasaan beroperasi.

Kekuasaan beroperasi seturut perbedaan-perbedaan dan strategi-strategi pun berbeda. Perbedaan yang ada ini tidak untuk saling mengejek tetapi lebih merupakan medan yang subur bagi beroperasinya kekuasaan. Salah satu medan yang ditunjukkan oleh Foucault sebagai medan kerja kekuasaan dalam kaitannya dengan strategi Normalisasi adalah tubuh manusia. Dalam tubuh manusia terkandung kuasa yang melegitimasi dirinya sendiri untuk menjadi penguasa dan memiliki kekuasaan tidak untuk saling mendominasi. Kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi. Kekuasaan itu ada di mana-mana dan tidak dapat dilokalisir untuk menjadi milik kelas tertentu hanya karena dilegitimasi oleh kelas yang lebih tinggi atau pun oleh negara. Kekuasaan pun tidak boleh mengambil jalur kekerasan dan penindasan, sebab setiap orang memiliki kuasa sehingga yang dibutuhkan itu bukanlah kekerasan dan penindasan melainkan strategi yang dibutuhkan.